Media90 – Kota Bandar Lampung memiliki garis pantai sepanjang 27,01 kilometer yang menyimpan potensi kerawanan bencana cukup tinggi. Mulai dari banjir rob, gelombang pasang, hingga ancaman gempa tektonik, seluruhnya menjadi risiko yang setiap saat dapat mengancam warga pesisir.
Namun ironisnya, hingga kini Pemerintah Kota Bandar Lampung belum memiliki Early Warning System (EWS) atau Sistem Peringatan Dini yang dapat memberikan alarm cepat ketika situasi darurat terjadi. Kekosongan sistem peringatan ini kembali terlihat saat banjir melanda sejumlah titik pesisir pada musim penghujan. Tidak ada mekanisme peringatan yang memberi tahu warga agar bersiap atau melakukan evakuasi lebih awal.
Kawasan seperti Panjang, Bumi Waras, Telukbetung Timur, Telukbetung Selatan, dan Telukbetung Barat menjadi wilayah yang paling sering terdampak banjir dan pasang air laut. Tanpa sistem peringatan dini, masyarakat yang tinggal di area tersebut berada dalam kondisi rawan setiap kali cuaca ekstrem datang.
Anggota DPRD Kota Bandar Lampung, Dewi Mayang Suri Djausal, menegaskan bahwa pemerintah kota harus mengambil langkah cepat dan terukur untuk menghadapi musim penghujan. Ia menilai keberadaan EWS adalah kebutuhan mendesak yang tidak boleh lagi ditunda.
“Early Warning System (EWS) harusnya sudah dimiliki Pemkot Bandar Lampung. Dengan garis pantai sepanjang itu dan kerentanan banjir serta gempa tektonik, kita tidak boleh abai,” ujar Mayang, Rabu (26/11/2025).
Menurut Ketua Fraksi Gerindra tersebut, absennya EWS membuat masyarakat pesisir berada pada posisi rentan karena tidak mendapatkan informasi dini ketika bencana terjadi. Ia menyebut kesiapsiagaan pemerintah masih jauh dari ideal dan memerlukan pembenahan serius.
Mayang juga menyoroti peran Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Bandar Lampung yang dinilai perlu meningkatkan koordinasi internal maupun eksternal. Ia mendorong BPBD untuk melibatkan para ahli dan lembaga terkait dalam penyusunan kebijakan mitigasi yang komprehensif dan berbasis data ilmiah.
“BPBD harusnya bisa melakukan kajian bersama akademisi, BMKG, BNPB, serta Dinas Kelautan dan Perikanan untuk menyusun analisis mitigasi bencana yang tepat,” tegasnya.
Dalam pandangannya, mitigasi bencana tidak bisa hanya mengandalkan pengalaman lapangan atau data umum. Diperlukan kajian ilmiah yang mempertimbangkan dinamika cuaca, perubahan struktur pesisir, hingga sejarah kebencanaan agar langkah mitigasi lebih tepat sasaran.
Selain EWS, Mayang yang juga anggota Komisi IV menekankan pentingnya penyusunan peta risiko bencana, terutama untuk wilayah pesisir. Peta tersebut, menurutnya, harus menjadi acuan utama untuk menentukan zona permukiman, batas aman hunian, hingga titik prioritas evakuasi.
Dengan peta risiko yang jelas, pemerintah dapat merencanakan pembangunan secara lebih terarah sekaligus memastikan masyarakat di zona rentan mendapatkan perlindungan maksimal.
Mayang menegaskan bahwa ketiadaan EWS bukan sekadar persoalan teknis atau administrasi. Lebih dari itu, ini menyangkut perlindungan nyawa ribuan warga pesisir yang setiap hari hidup berdampingan dengan ancaman bencana.














