Media90 – Raksasa teknologi asal China, Xiaomi, kini berada di ujung tanduk. Setelah bertahun-tahun menikmati pertumbuhan pesat di pasar global, termasuk Indonesia, perusahaan yang didirikan oleh Lei Jun tersebut kembali menghadapi ancaman serius dari Washington. Pemerintah Amerika Serikat (AS) di bawah kepemimpinan Presiden Donald Trump dilaporkan tengah mempertimbangkan langkah untuk memasukkan Xiaomi ke dalam daftar hitam militer.
Melansir laporan CNBC Indonesia, Senin (22/12/2025), wacana ini bermula dari surat resmi yang dikirimkan oleh sembilan regulator dan anggota parlemen AS dari Partai Republik kepada Menteri Pertahanan—yang kini diubah nomenklaturnya menjadi Menteri Perang—Pete Hegseth. Dalam surat tersebut, para legislator mendesak Pentagon untuk memasukkan Xiaomi bersama sejumlah perusahaan teknologi China lainnya ke dalam daftar Section 1260H.
Apa Itu Section 1260H?
Section 1260H merupakan daftar yang disusun Departemen Pertahanan AS untuk mengidentifikasi perusahaan yang dinilai memiliki keterkaitan atau memberikan dukungan terhadap kepentingan militer China. Perusahaan yang masuk ke dalam daftar ini secara resmi dilabeli sebagai “perusahaan militer China yang beroperasi di Amerika Serikat”.
Tuduhan utama terhadap Xiaomi adalah dugaan perannya dalam mendukung modernisasi militer China. Tuduhan ini dibantah keras oleh Xiaomi, yang selama ini menegaskan diri sebagai perusahaan swasta murni yang memproduksi perangkat konsumen untuk kebutuhan sipil. Namun, regulator AS tampaknya memiliki pandangan berbeda.
Selain Xiaomi, nama lain yang turut diusulkan masuk ke daftar tersebut adalah DeepSeek, perusahaan kecerdasan buatan (AI) yang tengah naik daun, serta BOE Technology Group, raksasa pemasok layar yang juga menjadi salah satu mitra Apple untuk komponen iPhone.
Dampak Daftar Hitam: Lebih dari Sekadar Larangan Dagang
Masuknya sebuah perusahaan ke dalam daftar Section 1260H tidak serta-merta berujung pada pelarangan total perdagangan seperti yang dialami Huawei saat masuk Entity List. Namun, dampaknya tetap signifikan.
Pertama, dari sisi investasi. Investor asal AS akan dilarang memiliki saham perusahaan yang masuk daftar ini, yang berpotensi memicu aksi jual besar-besaran dan menekan valuasi Xiaomi di pasar modal.
Kedua, dari sisi reputasi dan rantai pasok. Pemasok komponen asal AS diperkirakan akan semakin berhati-hati karena bekerja sama dengan perusahaan dalam daftar 1260H dinilai berisiko tinggi secara hukum di masa depan.
Ketiga, pencoretan dari rantai pasok pemerintah AS. Lembaga pemerintah dan kontraktor militer AS dilarang menggunakan produk atau layanan perusahaan yang tercantum dalam daftar tersebut.
Bagi Xiaomi, yang tengah agresif mengembangkan bisnis kendaraan listrik (EV) dan ekosistem rumah pintar, cap sebagai “perusahaan militer” merupakan pukulan telak terhadap citra merek mereka sebagai perusahaan teknologi gaya hidup.
Konteks Politik Trump dan Sikap Konfrontatif AS
Ancaman terhadap Xiaomi muncul di tengah kebijakan agresif Presiden Trump yang baru saja menandatangani anggaran belanja militer senilai US$1 triliun. Salah satu langkah kontroversialnya adalah mengganti nama Kementerian Pertahanan menjadi Kementerian Perang—sebuah sinyal kuat bahwa AS mengambil sikap lebih konfrontatif terhadap China.
Para anggota parlemen yang menandatangani surat desakan tersebut, termasuk John Moolenaar dan Rick Scott, berargumen bahwa teknologi China—mulai dari chip, layar, hingga perangkat pintar—berpotensi digunakan untuk spionase dan memperkuat kemampuan militer Beijing. BOE Technology Group bahkan didesak untuk sepenuhnya dicabut dari rantai pasok Pentagon paling lambat pada 2030.
Jika Xiaomi ikut terseret dalam pusaran ini, ruang geraknya di pasar Barat dipastikan akan semakin sempit.
Mengingat Konflik Serupa pada 2021
Ini bukan pertama kalinya Xiaomi berhadapan dengan daftar hitam AS. Pada 2021, di akhir masa jabatan pertama Trump, Xiaomi sempat dimasukkan ke dalam daftar serupa. Saat itu, Xiaomi melawan lewat jalur hukum dan menggugat pemerintah AS di pengadilan federal.
Upaya tersebut berbuah hasil. Hakim memutuskan bahwa bukti Pentagon untuk menyebut Xiaomi sebagai perusahaan militer tidak cukup kuat, sehingga Xiaomi akhirnya dikeluarkan dari daftar hitam. Namun, situasi kali ini dinilai jauh berbeda. Dengan pemerintahan yang lebih agresif dan sentimen anti-China yang menguat di Senat maupun DPR AS, peluang Xiaomi untuk mengulang kemenangan hukum tersebut diperkirakan lebih sulit.
Dampaknya bagi Pengguna Xiaomi di Indonesia
Bagi jutaan pengguna ponsel Xiaomi di Indonesia, kabar ini memicu kekhawatiran. Meski demikian, hingga kini ancaman tersebut masih berada pada level administratif di pemerintahan AS. Berbeda dengan kasus Huawei yang langsung kehilangan akses ke Google Mobile Services, status Section 1260H pada tahap awal lebih berdampak pada investasi dan kontrak pemerintah.
Ancaman serius baru akan muncul jika tekanan AS meningkat hingga ke tahap pelarangan ekspor teknologi strategis, seperti chip buatan Qualcomm. Jika itu terjadi, ketersediaan komponen dan dukungan perangkat lunak Xiaomi bisa terdampak secara global.
Xiaomi kini berada di tengah “badai sempurna” geopolitik antara AS dan China. Statusnya sebagai produsen ponsel nomor tiga dunia tidak membuatnya kebal dari tekanan politik Washington. Jika usulan para regulator diterima Pentagon, Xiaomi harus bersiap menghadapi masa depan yang penuh ketidakpastian.
Persaingan teknologi global kini tak lagi semata soal inovasi dan harga, melainkan juga tentang keamanan nasional dan keberpihakan politik. Dalam dinamika ini, Xiaomi berpotensi menjadi korban terbaru dari rivalitas dua kekuatan besar dunia.














