TEKNO

AS Diam-Diam Manfaatkan Model AI Open-Source Buatan China, Ini Alasannya

7
×

AS Diam-Diam Manfaatkan Model AI Open-Source Buatan China, Ini Alasannya

Sebarkan artikel ini
Terungkap! AS Ternyata Mengandalkan Model AI Open-Source Asal China
Terungkap! AS Ternyata Mengandalkan Model AI Open-Source Asal China

Media90 – Persaingan teknologi antara Amerika Serikat (AS) dan China selama bertahun-tahun kerap digambarkan sebagai pertarungan perebutan dominasi global. AS menuding China sebagai ancaman, sementara China berupaya tampil sebagai kekuatan baru melalui inovasi, industri digital, dan kecerdasan buatan (AI). Namun di tengah retorika panas itu, sebuah fakta menarik terungkap: banyak perusahaan teknologi AS ternyata diam-diam memanfaatkan model AI open-source buatan China.

Fisikawan dan insinyur machine learning, Misha Laskin, mengungkapkan bahwa sejumlah startup dan perusahaan AI di Silicon Valley kini semakin bergantung pada model-model gratis asal Negeri Tirai Bambu. Model seperti Qwen besutan Alibaba dan DeepSeek R1, menurutnya, terbukti kompetitif dan tidak jauh tertinggal dari model-model tertutup yang dikembangkan OpenAI maupun Google.

Murah, Cepat, Kompetitif: Daya Tarik Utama Model AI China

Faktor biaya menjadi alasan terbesar mengapa perusahaan AS melirik teknologi AI dari China. Model open-source dapat diunduh, dimodifikasi, dan dijalankan secara mandiri tanpa biaya lisensi atau akses API yang mahal. Ini sangat berbeda dengan model tertutup seperti GPT-5, Claude, atau Gemini yang hanya tersedia melalui pusat data dengan tarif tinggi.

Baca Juga:  Cara Mudah Mengekstrak Teks dari Gambar dengan Browser Web

Laporan CNBC menunjukkan bahwa model AI terbuka asal China kini diunduh hingga 17%, melampaui model buatan AS yang berada di angka 15,8%. Angka ini menandai meningkatnya penerimaan global terhadap model-model China yang lebih fleksibel dan ekonomis.

Raksasa AI AS vs Gelombang AI Terbuka dari China

Fenomena ini menimbulkan dilema tersendiri bagi industri AI di AS. Investor Silicon Valley telah menggelontorkan puluhan miliar dolar kepada raksasa seperti OpenAI dan Anthropic. Namun di lapangan, perusahaan-perusahaan yang harus menghadapi biaya operasional nyata justru memilih model China yang lebih efisien.

Sejumlah analis dari lembaga think-tank internasional bahkan menyinggung potensi munculnya “AI bubble” di AS. Jika industri beralih ke solusi terbuka yang lebih murah, investasi besar pada model tertutup bisa kehilangan relevansi. Pertanyaan kritis pun muncul: “Apakah investasi miliaran dolar ini benar-benar mencerminkan kebutuhan pasar, atau sekadar membakar uang di tengah perubahan tren?”

Strategi China: AI Terbuka untuk Dominasi Global

Berbeda dari AS yang cenderung membatasi akses, China mengambil langkah sebaliknya. Mereka membuka model AI mereka secara luas untuk digunakan siapa pun, di mana pun. Strategi ini tidak hanya mempercepat adopsi global, tetapi juga meningkatkan pengaruh China dalam ekosistem teknologi internasional.

Baca Juga:  Ini Dia Tablet Teclast T50 Pro: Layar 2K 11 Inci dan Android 13 dengan Harga Rp2,6 Juta!

Model seperti DeepSeek R1 dan Qwen telah menciptakan ekosistem AI terbuka yang rapi dan mudah dikembangkan, memungkinkan inovasi tumbuh lebih cepat. Kontras dengan pendekatan AS yang mengandalkan kontrol ketat, strategi China justru menekan batas melalui keterbukaan.

Contoh Nyata: Exa Pilih Teknologi China

Salah satu contoh menarik datang dari perusahaan mesin pencari berbasis AI, Exa. Kepala Machine Learning mereka, Michael Fine, menyebut model open-source China lebih murah, lebih cepat diterapkan, dan lebih fleksibel dibanding GPT-5 dari OpenAI atau Gemini milik Google.

Menurut Fine, satu-satunya cara menjaga efisiensi modal adalah memanfaatkan model terbuka yang bisa dijalankan di infrastruktur sendiri. Selain memotong biaya, pendekatan ini memberi perusahaan kontrol penuh atas data dan pengembangan teknologi.

Baca Juga:  Strategi Unggul: 5 Langkah Proaktif untuk Lindungi Akun Media Sosial dan Email dari Ancaman Siber

Masa Depan AI Global: Model Terbuka atau Model Tertutup?

Perdebatan pun mengemuka: “Siapa yang akan menguasai masa depan AI—model tertutup yang mahal atau model terbuka yang inklusif?”

Jika tren ini terus berlanjut, bukan tidak mungkin dominasi AS di industri AI akan makin terkikis oleh China. Ironisnya, AS yang selama ini memandang China sebagai ancaman, justru mulai bergantung pada produk teknologi yang dikembangkan pesaing geopolitiknya itu.

Babak Baru Perang Teknologi

Perang teknologi AS–China kini memasuki fase baru. AS mempertahankan strategi melalui model tertutup dan investasi besar, sementara China memperluas pengaruh dengan memasarkan teknologi open-source yang murah dan adaptif.

Pada akhirnya, pragmatisme bisnis bisa mengalahkan ideologi geopolitik. Perusahaan akan memilih solusi paling efisien—meski itu berarti mengandalkan teknologi dari pihak yang dianggap “lawan”.

Pertanyaan berikutnya:
Apakah masa depan AI akan benar-benar terbuka? Atau justru persaingan ini akan memicu babak baru perang teknologi global?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *