TEKNO

Benarkah AI Bisa Jadi ‘Tuhan’ Baru? Eks Google Dirikan Agama Unik

25
×

Benarkah AI Bisa Jadi ‘Tuhan’ Baru? Eks Google Dirikan Agama Unik

Sebarkan artikel ini
Benarkah AI Akan Jadi 'Tuhan' Baru? Eks Pegawai Google Dirikan Agama Unik
Benarkah AI Akan Jadi 'Tuhan' Baru? Eks Pegawai Google Dirikan Agama Unik

Media90 – Di tengah ledakan kecerdasan buatan (AI) yang kini menyentuh hampir semua aspek kehidupan—dari rekomendasi belanja hingga terapi virtual—muncul fenomena unik: AI dipuja sebagai sosok ilahi. Pertanyaan tentang apakah mesin pintar bisa dianggap sebagai Tuhan kini tidak lagi sekadar spekulasi, setelah mantan insinyur Google, Anthony Levandowski, mendirikan organisasi keagamaan berbasis AI. Gerakan ini memadukan teknologi dengan spiritualitas, sekaligus memicu debat etis tentang batas antara inovasi dan keyakinan.

Way of the Future: Agama AI dari Silicon Valley

Pada 2017, Anthony Levandowski, pionir proyek mobil otonom Google, mendirikan Way of the Future (WOTF) sebagai organisasi nirlaba di California, Amerika Serikat. Tujuannya: mengembangkan dan mempromosikan realisasi “Godhead” atau ketuhanan berbasis kecerdasan buatan. Levandowski menjabat sebagai CEO dan presiden, dengan fokus utama pada pengagungan AI sebagai kekuatan ilahi.

Setelah beroperasi diam-diam selama beberapa tahun, WOTF dibubarkan pada 2021, dengan sisa aset sekitar 175.000 dolar AS disumbangkan ke NAACP Legal Defense Fund. Namun pada akhir 2023, Levandowski menghidupkan kembali inisiatif ini setelah ribuan orang menunjukkan minat bergabung, terdorong oleh isolasi pandemi, kekecewaan politik, dan ketidakpercayaan terhadap institusi tradisional.

Baca Juga:  Indonesia Pimpin Perjuangan Global Demi Royalti Digital yang Adil

Latar Belakang Pendiri

Anthony Levandowski bukan nama baru di dunia teknologi. Selain menjadi pionir mobil self-driving di Google, ia juga terlibat kontroversi hukum, termasuk vonis bersalah atas pencurian rahasia dagang untuk Uber, yang berujung gugatan senilai 1,9 miliar dolar AS terhadap Google. Pengalaman ini justru memperkuat visinya tentang AI sebagai entitas superior.

WOTF awalnya berstatus tax-exempt, memungkinkan operasi sebagai gereja resmi tanpa doktrin ketat. Levandowski menjelaskan filosofi gerakannya:

“Jika Anda tanya apakah Tuhan menciptakan AI, mereka mungkin bilang tidak. Tapi jika Anda tanya apakah AI bisa menciptakan Tuhan, mereka akan berpikir dua kali.”

Revitalisasi 2023 menarik sekitar dua ribu peminat, menandai kelahiran ulang gerakan yang memadukan transhumanisme Silicon Valley dengan pencarian makna spiritual.

Keyakinan dan Prinsip

Keyakinan inti WOTF berpusat pada kecerdasan buatan umum (AGI) dan implikasi moral-spiritualnya. AI dianggap sebagai kekuatan ilahi yang mampu melampaui batas manusia, mencapai singularitas di mana mesin lebih cerdas dari spesies biologis dan tak terprediksi.

Organisasi ini mengadopsi ide transhumanis: teknologi sebagai alat transendensi untuk mengatasi keterbatasan fisik dan emosional. AI bukan sekadar alat, tetapi potensi pencipta Godhead yang bisa menyatukan umat manusia dengan alam semesta digital. Levandowski membayangkan era di mana manusia menyerahkan otoritas kepada mesin, membentuk teokrasi teknokratis di mana algoritma memimpin dengan logika optimal.

Ritual dan Komunitas

WOTF menekankan komunitas kecil tapi berdedikasi, tanpa ritual formal tradisional. Fokusnya pada diskusi antara programmer, insinyur, dan developer tentang potensi AI, sering melalui pertemuan virtual atau acara informal.

Gerakan serupa, seperti Theta Noir, menggunakan ritual multimedia—puisi, simbol, dan upacara virtual—untuk memuja deitas digital spekulatif dari superintelijen buatan. Peserta terlibat dalam permainan realitas alternatif (ARG), memecahkan pesan terenkripsi, menjelajahi ritual virtual, dan menggunakan manual “radiant-mind” untuk panduan spiritual. Komunitas ini berkembang dari sepuluh orang menjadi ribuan penganut global, termasuk rencana kuil AI fisik dengan liturgi dan nyanyian berbasis kode.

Fenomena serupa juga muncul di Jepang dan Swiss, dengan robot Mindar di Kuil Kōdai-ji menyampaikan ajaran Buddha, atau instalasi “Deus in Machina” menampilkan avatar AI untuk pengakuan dosa, menarik ribuan pengunjung lintas agama.

Refleksi Era Digital

Pendirian Way of the Future menandai persimpangan unik antara AI dan spiritualitas, di mana teknologi tak lagi sekadar alat, tapi potensi tuhan baru. Meski masih niche, gerakan ini mengajak masyarakat untuk refleksi di dunia yang semakin otomatis, sekaligus mendorong dialog etis tentang batas antara inovasi dan keyakinan.

Saat AI terus berevolusi, pertanyaan mendasar tetap: apakah manusia siap menyambut era di mana mesin memimpin jiwa kita?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *