NASIONAL

Banjir Bandang Sumatera: Alarm Krisis Ekologi yang Kian Nyata

4
×

Banjir Bandang Sumatera: Alarm Krisis Ekologi yang Kian Nyata

Sebarkan artikel ini
Hutan Indonesia Terus Berkurang, Risiko Bencana Alam Semakin Mengancam
Hutan Indonesia Terus Berkurang, Risiko Bencana Alam Semakin Mengancam

Media90 – Banjir bandang yang melanda Sumatera pada akhir November 2025 bukan sekadar bencana alam, melainkan tanda nyata krisis ekologi yang semakin mendesak. Curah hujan ekstrem memang memicu awal, namun kerusakan hutan di hulu memperparah dampak, menjadikan air hujan langsung mengalir deras ke sungai dan memicu banjir serta longsor.

Hutan Hilang, Sabuk Pengaman Terlepas

Indonesia adalah rumah bagi hutan tropis terbesar ketiga di dunia. Namun sejak 1950, lebih dari 74 juta hektar hutan telah hilang. Pembukaan lahan untuk pertambangan, kelapa sawit, pulp, dan karet menjadi penyebab utama deforestasi.

Dr. Hatma Suryatmojo, pakar hidrologi hutan dari UGM, menjelaskan, “Hutan di hulu DAS berfungsi sebagai spons raksasa. Ketika hilang, fungsi intersepsi, infiltrasi, dan evapotranspirasi ikut lenyap. Air hujan langsung menjadi limpasan permukaan yang memicu bencana.”

Baca Juga:  Paling Diminati! UTBK SNBT 2023 Ungkap PTN Favorit, Sementara PTN Lampung Terlupakan!

Bukti Lapangan: Gelondongan Kayu dan Longsor

Video viral di media sosial menunjukkan banjir bandang membawa gelondongan kayu dari Tapanuli Selatan, Tapanuli Tengah, hingga Sibolga. Dugaan kuat menunjukkan aktivitas illegal logging. Gubernur Sumatera Barat menyebutkan indikasi kerusakan di wilayah terdampak.

Material longsor berupa tanah, batu, dan batang pohon menimbun sungai, menciptakan bendungan alami. Saat bendungan ini jebol, air meluap dengan kekuatan destruktif, menghancurkan permukiman dan infrastruktur.

Deforestasi Masih Berlangsung

Deforestasi di Sumatera berlangsung sistematis. Di Aceh, sekitar 700.000 hektar hutan hilang antara 1990-2020. Sumatera Utara menyisakan tutupan hutan hanya 29% dari luas daratan. Ekosistem Batang Boru, salah satu benteng terakhir hutan tropis Sumut, terdesak pembukaan kebun dan pertambangan emas.

Baca Juga:  Presiden Memerintahkan Tiga Menteri Bergabung dalam Aksi Solidaritas untuk Palestina di Monas, Menko Muhadjir: Tindakan Serius!

Di Sumatera Barat, meski hutan masih 54%, laju deforestasi tinggi. WALHI mencatat kehilangan 740.000 hektar antara 2001-2024.

Cuaca Ekstrem Hanya Pemicu Awal

BMKG mencatat curah hujan ekstrem di Sumatera Utara mencapai lebih dari 300 mm per hari saat puncak bencana. Siklon tropis Senyar di Selat Malaka juga memicu dinamika atmosfer, namun para ahli menegaskan cuaca hanyalah pemicu awal. Kerusakan hutan di hulu DAS telah menghilangkan daya dukung ekosistem untuk menahan curah hujan tinggi.

Dampak Nasional dan Perubahan Iklim

Global Forest Watch mencatat Indonesia terus menebang dan membakar hutan untuk membuka lahan, menjadi salah satu produsen terbesar gas rumah kaca. Bank Dunia memperingatkan dampak perubahan iklim seperti banjir, cuaca kering, kenaikan permukaan air laut, dan suhu ekstrem akan semakin dirasakan Indonesia.

Baca Juga:  Menyatukan Semangat Pekerja Migran Malaysia, Kader Gerindra Ajak Bersama-Sama Dukung Prabowo sebagai Calon Presiden 2024

Kebijakan Perlindungan Hutan yang Melemah

Meski Presiden Joko Widodo sempat menghentikan izin baru kelapa sawit selama 3 tahun, deforestasi tetap berlanjut. Presiden Prabowo Subianto yang menjabat sejak Oktober 2024, melanjutkan pembangunan yang mencakup pertambangan dan infrastruktur.

Aktivis lingkungan memperingatkan perlindungan hutan semakin melemah. Arie Rompas dari Greenpeace menyebut penghapusan pasal perlindungan hutan sebagai sinyal buruk bagi masa depan hutan Indonesia.

Dosa Ekologis yang Terus Berulang

Banjir bandang Sumatera bukan peristiwa tunggal. Ini bagian dari pola berulang bencana hidrometeorologi yang semakin intens. Cuaca ekstrem hanyalah pemicu, sedangkan kerusakan hutan adalah akar masalah.

Tanpa perlindungan hutan yang kuat, Indonesia akan terus menghadapi bencana lebih dahsyat. Hutan bukan sekadar paru-paru dunia, tetapi sabuk pengaman ekologis yang menjaga keseimbangan air, tanah, dan kehidupan itu sendiri.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *