Media90 – Seorang remaja berusia 15 tahun di Australia, Noah Jones, menggugat pemerintah untuk membatalkan kebijakan larangan penggunaan media sosial bagi anak di bawah 16 tahun. Jones berpendapat bahwa peraturan ini justru membuat internet menjadi lebih berbahaya karena memaksa remaja mencari cara diam-diam untuk tetap terhubung.
Jones menjadi penggugat dalam kasus yang diajukan ke Pengadilan Tinggi (High Court), melawan Menteri Komunikasi Anika Wells dan Komisioner Keamanan Elektronik (eSafety), Julie Inman Grant. Peraturan yang dijadwalkan mulai berlaku pada 10 Desember ini bertujuan memblokir akses remaja ke platform seperti Instagram, TikTok, dan Snapchat. Pemerintah menekankan bahwa larangan ini bertujuan melindungi anak-anak dari konten berbahaya dan predator online.
Namun Jones menolak keras. Ia menilai pembatasan ini membuat remaja lebih tertutup dan mendorong mereka melakukan kegiatan online secara diam-diam, yang justru lebih berisiko. “Kita seharusnya membuang sisi buruk dari media sosial, bukan aksesnya. Saat anak-anak melakukan sesuatu secara diam-diam, itulah saat-hal berbahaya bisa terjadi,” ujar Jones. Ia juga menekankan bahwa larangan ini dapat menciptakan ‘social gap’ antara remaja yang bisa mengelak dari peraturan dan yang tidak, karena banyak anak masih bisa menggunakan VPN, akun palsu, atau perangkat lain untuk mengakses media sosial.
Jones dan beberapa murid lain menyatakan bahwa keputusan tentang penggunaan media sosial seharusnya ada di tangan orang tua, bukan pemerintah. Gugatan mereka menyoroti dugaan pelanggaran hak konstitusi dan menyerukan pendekatan alternatif, seperti pencegahan perundungan siber dan pengawasan predator online, daripada larangan total.
Platform Media Sosial Sebagai Panggung Kreativitas
Tak hanya Noah Jones, remaja lain juga menentang kebijakan ini karena media sosial menjadi sumber identitas, koneksi, dan pendapatan. Shar, seorang remaja berusia 15 tahun dan calon penyanyi, mengatakan bahwa larangan ini akan merugikan kariernya secara digital. “Membutuhkan waktu lama untuk mendapatkan 4.000 pengikut di akun utama saya, dan saya akan kehilangan semua itu,” ujarnya. Ia mendorong pengikutnya untuk pindah ke Lemon8, platform milik ByteDance yang tidak terkena larangan.
Influencer remaja lain, Zoey (@_heyitszoeyandmark di TikTok) yang memiliki 48.000 pengikut, juga aktif menentang kebijakan. Ia menyebarkan petisi agar batasan usia dinaikkan menjadi 13 tahun, dan memberikan tips bagi remaja untuk melewati sistem pendeteksi usia. Petisi ini ditandatangani lebih dari 43.000 orang sebelum ditutup.
Ada yang Menyambut ‘Istirahat’ dari Media Sosial
Meski banyak yang menolak, sebagian remaja justru merasa terbantu dengan larangan ini. Maxine Steel, murid kelas sembilan, menghapus semua aplikasi media sosial tahun lalu karena sulit berhenti scrolling. Saat mengikuti kamp kepemimpinan tanpa handphone, ia merasa lebih bebas dan fokus. “Semua orang melupakan media sosial, dan saya harus bilang, ini lingkungan paling cerah dan hidup seumur hidup saya,” kata Maxine.
Pandangan beragam ini menunjukkan dilema kebijakan pemerintah. Lucy Thomas, CEO Project Rockit, organisasi anti perundungan, menekankan kompleksitas hubungan anak muda dengan media sosial. “Beberapa anak akan berkembang tanpa media sosial, sementara yang lain memanfaatkan platform ini untuk tetap terhubung. Larangan bisa saja mendorong anak-anak tertutup ke ruang online yang kurang diatur, meski tujuannya untuk keamanan,” ujarnya.
Kasus ini belum dijadwalkan untuk sidang di Pengadilan Tinggi, tetapi sudah memicu debat nasional tentang batasan otoritas pemerintah dalam mengatur perilaku digital anak muda dan cara menciptakan internet yang aman tanpa menghilangkan akses mereka ke media sosial.














