Media90 – Sebuah fasilitas sederhana di area stasiun mendadak memicu perdebatan panas di media sosial. Pengering payung (umbrella dryer) milik PT Kereta Api Indonesia (KAI) menjadi viral setelah diketahui digunakan sebagai tempat membuang botol minuman dan sampah plastik.
Fenomena ini ramai diperbincangkan di platform Threads karena dinilai mencerminkan rendahnya kesadaran dan kebiasaan membaca di ruang publik. Padahal, pada alat tersebut sudah tertera keterangan fungsi yang jelas.
Unggahan yang memicu perhatian luas berasal dari akun Threads @iimsobari. Ia membagikan pengalamannya saat melihat langsung kondisi pengering payung di pintu masuk Stasiun KRL Sudirman. Dalam unggahannya, ia menuliskan kekecewaan terhadap perilaku pengguna fasilitas umum.
“Beberapa waktu lalu lihat postingan tentang bagaimana orang menggunakan alat ini. Kemarin ketemu alat ini di pintu masuk Stasiun KRL Sudirman, jadi penasaran apakah kejadiannya sama? Ternyata sama. Sedih ya. Jelas-jelas ada tulisannya. Sebenarnya ini akibat malas baca, tidak peduli, atau memang disengaja?” tulisnya.
Unggahan tersebut dengan cepat menyebar dan mengundang ratusan respons dari warganet. Banyak netizen menilai penggunaan pengering payung sebagai tempat sampah bukan sekadar persoalan desain fasilitas, melainkan menyangkut sikap dan tingkat literasi masyarakat.
Akun @ferryy08_5h merinci kemungkinan penyebab perilaku tersebut, mulai dari malas membaca, sudah terlanjur membuang sampah baru menyadari fungsinya, hingga enggan mengambil kembali sampah karena merasa malu.
Komentar singkat namun bernada serius juga datang dari akun @neethalestari yang menulis, “Literasi. Literasi..”. Sementara akun @mommybunayya mengungkapkan perasaannya dengan kalimat, “Sedih lihatnya.”
Sebagian pengguna turut menyoroti aspek desain alat. Akun @arashi_toshi berpendapat ukuran celah pengering payung terlalu lebar sehingga mudah disalahartikan, berbeda dengan fasilitas serupa yang ada di MRT.
Beberapa netizen mengaitkan kejadian ini dengan pengalaman sehari-hari di ruang publik, mulai dari pot bunga yang dipenuhi sampah hingga larangan tertulis yang tetap diabaikan. Akun @antoniuswu21 bahkan membandingkannya dengan situasi di SPBU. “Di SPBU sudah jelas ada tulisan besar ‘Pertalite habis. Dalam pengiriman’. Tapi masih saja ada yang bertanya ke petugas, ‘Pertalite habis ya?’,” tulisnya.
Komentar lain menilai persoalan ini berkaitan dengan kualitas sumber daya manusia serta kebiasaan buruk yang terus berulang. Di tengah kritik yang mengemuka, sebagian netizen juga menyoroti pentingnya empati terhadap petugas kebersihan. Ada yang mengaku memilih menyimpan sampah di tas jika belum menemukan tempat sampah, demi tidak menambah beban pekerjaan orang lain.
Kasus ini kembali menunjukkan bahwa penyediaan fasilitas publik saja tidak cukup tanpa diiringi kesadaran bersama untuk membaca, memahami, dan menggunakan fasilitas tersebut sesuai dengan fungsinya.














